Namun, dua minggu yang lalu ada sedikit perselisihan antara Lusi dan Ery. Ketika itu, Naya bingung mau dekat dengan siapa, karena sebenarnya tiga orang itu selalu bersama. Terkadang Lusi yang mendekatinya. Tapi, ada kalanya juga Ery berceloteh banyak tentang berbagai cerita, seperti ketika sedang bertiga, dengan Lusi. Seminggu yang lalu, entah karena apa Lusi dan Ery sudah bersama lagi. Sebagai seseorang yang dekat dengan mereka berdua, tentunya Naya merasa lega, bahagia, gembira, dan semacam itulah. Anehnya, dengan kejadian itu, mereka malah tak acuh pada Naya. Mereka bertiga berkumpul seperti biasa, namun ada yang tak biasa.
“Eh Lus, tadi aa’ dari kelas sebelah nyamperin aku loh ! Yah, emang sih cuma mau pinjem buku, tapi lumayanlah, nice view buat mata capek abis ulangan Mathematic.”, kata Ery memulai pembicaraan.
“Auuh, mulai kan. Curcol ! Hhhaha”, cibir Lusi sebagai tanggapan. Yah, mereka memang sudah terbiasa bercanda lepas demi mengusir penatnya profesi pelajar.
“Eciee, Ery.. Cerita – cerita ! hhehe” , lanjut Naya.
Setelah beberapa saat mereka bersama, Naya merasa ada yang berbeda. “Dari tadi kok, cuma mereka aja, ya yang asyik ngobrol. Aku dikemanain coba ?”, batin Naya. Ia merasa dikacangin abis – abisan. Dia ngomong apa, hanya dijawab singkat, malah terkadang diabaikan bagai capung berlalu. Tiga hari yang lalu, kejadian itu terulang lagi. Naya merasa ia tak dianggap lagi. Lusi dan Ery memang sedang bersamanya. Tapi, dia ngomong apa, juga dianggap seperti patung yang menemani mereka.
***
Beberapa kejadian itulah yang membuat Naya mengalami bad mood beberapa hari ini. Dua SMS yang sama sekali tak ada tanda – tanda respon mereka. Mencoba berpikir positif. Mungkin aja mereka lagi sibuk, atau apalah yang membuat tak sempat membalas SMS Naya. Setelah berganti baju, Naya ingat perkataan Ibunya tadi. Segera ia ke ruang makan. Mengambil nasi, sayur, dan lauk, lalu duduk di kursi makan. Makan siang hari ini terasa hambar, walaupun sebenarnya masakan Ibunya adalah yang terbaik bagi Naya. Suasana hatinya mempengaruhi nafsu makan.
“Nay, ibu mau ngomong sesuatu, boleh ?” tanya Ibunya sambil membereskan beberapa peralatan di dapur.
“Boleh. Kenapa, Bu ?”
“Ibu mau ngomong soal temenmu yang namanya.. Aduh, itu lho, Keeshi, eh siapa ?”
“Keisha, Bu.. Emang ada apa ?” jawab Naya, yang sebenarnya enggan nama itu lebih mengganggu nafsu makan siangnya.
“Waktu dia ke rumah, terus Andi juga kesini, kok nggak sopan banget. Bertamu ke rumah orang kok seperti itu. Duduknya dekat – dekatan, sok mesra, colak – colek. Ya walaupun kamu itu temannya, tapi kan tetap saja etikanya nggak baik. Apa mereka pacaran ? Kalau pacaran ya jangan terlalu seperti itulah ! Ibu minta, kamu jangan terlalu dekat ya, sama Keisha. Yah, cari sahabat itu ya yang baik. Biar kamu juga perilakunya baik. Ibu tu khawatir, kalau temanmu seperti Keisha itu, kamu malah ikut terbawa arus juga. Ah, Ibu enggak mau, anak Ibu jadi kayak Keisha..”, jelas Ibu panjang lebar, dengan nada kasih sayangnya yang tak mungkin lekang oleh waktu.
“Emm, mereka nggak pacaran kok. Ibu ah.. Naya kan berteman dengan Keisha juga hanya mengambil sisi positifnya aja. Nggak akan kok, Naya bertingkah kayak gitu.. Percaya deh..” tanggap Naya, tanpa bermaksud melukai perasaan Ibunya.
“Yaah, bagaimanapun, Ibu tetap nggak tenang, kalau kamu masih dekat dengan temanmu, si Keisha itu.”, kata Ibu Naya masih tidak mau menerima alasan anaknya.
“Ya sudahlah, kalau Ibu inginnya begitu. Naya akan berusaha buat nggak jadi seperti apa yang Ibu khawatirkan.”, jawab Naya dengan sedikit kalimat yang berbelit.
Walaupun kini Naya sedang merasa diabaikan oleh Keisha, namun ia masih berharap suatu saat nanti mereka akan kembali menjadi teman dekat seperti sebelumnya. Naya belum mampu mengikuti seluruh permintaan Ibunya. Untuk permintaan agar ia tidak terbawa arus, tentunya akan dipenuhi. Namun, untuk berhenti berteman dengan Keisha, rasanya masih sulit. Ia sudah menganggap Keisha adalah salah satu teman yang sangat akrab dengannya.
Makan siang Naya kali ini benar – benar tidak dapat dinikmati. Bad mood yang sudah dibawanya dari sekolah tadi, dua SMS yang tidak kunjung dibalas, masih ditambah nasehat panjang dari Ibu tercinta, membuatnya kehilangan seluruh nafsu makan. Nasi, lauk, dan sayur yang masuk ke mulutnya tidak terasa di lidah. Hanya mengunyah, lalu menelan tanpa ada rasa menikmati sedikitpun. Suasana langit di luar yang sangat mendung, membuat udara dingin menusuk tubuh, saat menjelang sore ini.
Pergantian sore menuju malam terasa sangat membosankan bagi Naya. Tugas sekolah tergeletak di meja belajar, menunggu keikhlasan Naya untuk menghampirinya. Dari tadi siang sampai malam ini, bad mood nggak kunjung pergi juga.
“Ah, ya udah lah. Daripada tugas nggak keurus, mending di kerjain aja.”, Naya berkata pada diri sendiri.
Buku Matematika, Biologi, Sosiologi, tergeletak di meja. Naya bingung pusing tujuh keliling, mau ngerjain yang mana dulu. Akhirnya, 5 soal Matematika, 5 soal Biolgi, dan 7 soal Sosiologi udah kelar dilahap Naya. Jam di handphone menunjukkan pukul 21.30. Bingung mau ngapain, Naya menekan tombol – tombol di handphone-nya, membentuk kalimat “Malem.. Lg ngpain? Ak gnggu kmu gk?”, -Send to : Aldi-. Ya, itu yang dilakukannya. Mengirim SMS ke seorang pacar yang sesungguhnya. Ia masih mengganggap Aldi Eka Nugraha sebagi kekasihnya. Walaupun, Naya sendiri ragu, masih sebesar apa rasa sayang dan cintanya pada Aldi. Handphone bergetar, -1 message, From : Aldi-. “Malem, lg ngerjain tgs nih. Cpek bgt L. Tumben kmu sms ak. Km gi ngpain?” Kalimat di layar itu menyadarkan Naya. Uhh, betapa menyesalnya dia. Selama Aldi di Bandung, Naya telah berbuat kesalahan, dengan menduakan Aldi. Ia jadian sama Dewa. Awalnya, ia berpikir itu hanya main – main. Ia akan tetap mencintai Aldi. Tapi, kenyataannya, ia benar – benar menyayangi Dewa.
*bersambung lagi ya :)
aa' dari kelas sebelah minjem buku? kayaknya familiar deh :D
BalasHapusduh Han, semoga Allah menempatkan dia pada tempat indah di surga, aamiin
BalasHapus